Bagaimana Sukses Sampai menghasilkan Dollar ! Akan Saya Bocorkan Untuk Anda Sekarang !

ADSENSE link unit (728 X 15px) SPACE

Bagaimana Sukses Mendapatkan Penghasilan Tambahan Sebagai Affiliate Marketer Dari Clickbank Dengan Benar Klik Disini

Rabu, 17 Agustus 2011

PENGHAYATAN KETUHANAN : PANDANGAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Posted on 15 August 2011.

PENGHAYATAN KETUHANAN : PANDANGAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN

PENGHAYATAN KETUHANAN

1. Penghayatan aseli

(1) Rupa-rupanya tak ada masyarakat di dunia yang tidak beragama. Sebagian besar bangsa-bangsa di bumi menganut salah satu dari agama-agama “besar”. Tetapi agama-agama “besar” Baru muncul sesudah umat manusia mencapai tingkat budaya yang cukup maju. Sebelumnya manusia tentu juga sudah beragama. Lukisan-lukisan pra-sejarah, seperti misalnya di dinding gua-gua di Ardëche Gorge di Prancis yang diperkirakan diciptakan 32.000 tahun lalu memperlihatkan bahwa manusia waktu itu sudah menghormati kekuatan-kekuatan gaib. Di pelbagai daerah di Afrika, di antara kaum Indian di Amerika dan “suku-suku aseli” di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Pasifik, ketuhanan dihayati bukan melalui sebuah ajaran eksplisit (seperti dalam agama besar), melainkan dalam kenyataan setiap hari, dengan kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos yang diceriterakan, ritus-ritus, doa-doa, dan pelbagai kebiasaan lain. Agama dalam arti ini merupakan dimensi yang meresapi semua bidang kehidupan.

Apakah pendapat Pater Wilhelm Schmidt MID (1868-1954) — yang pernah juga berkarya di Flores, — bahwa semula suku-suku aseli percaya kepada satu Tuhan adalah betul, tidak perlu kita putuskan. Yang jelas, dalam penghayatan keagamaan aseli itu seluruh alam diresapi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang tidak kelihatan. Peristiwa-peristiwa alami, seperti banjir dan kekeringan, orang kejatuhan pohon atau dimangsa binatang buas, apa pun yang menimpa manusia, mengungkapkan kekuatan-kekuatan tak kelihatan itu. Kekuatan-kekuatan itu ada yang melindungi desa, ada juga yang mengancam. Kekuatan-kekuatan itu bisa bersifat roh-roh yang berada di tempat-tempat tertentu, bisa terlokalisasi dalam sebuah fetis, dan bisa ada ‘Tuhan” personal di atas segala-galanva. Melalui sesaji, ritus, dan doa-doa, dengan memperhatikan pelbagai pantangan, dan dengan mengatur seluruh cara hidup dalam kesesuaian dengan kepercayaan bersama, orang berusaha untuk hidup dengan aman. Keagamaan aseli ini tidak merupakan bidang tersendiri dan terpisah dari bidang-bidang kehidupan manusia lainnya. Realitas alami, sosial (masyarakat), dan adi-duniawi menyatu. Apa pun yang dilakukan, misalnya bercocok tanam, atau mempersiapkan pesta perkawinan, sekaligus merupakan pekerjaan, pesta bersama, dan penghayatan alam gaib.

Penghayatan Ketuhanan sering dihayati sebagai kekuatan yang meresapi alam. Di Polinesia, kekuatan itu disebut mana. Pandangan dunia Jawa aseli memahami alam sebagai berdimensi dua: Ada dimensi lahir dan dimensi batin. Yang pertama adalah alam kelihatan. Tetapi alam kelihatan hanya dapat dimengerti dari dimensi batin, dari kekuatan-kekuatan yang ada di belakangnya. Pelbagai roh merupakan personalisasi kekuatan gaib itu yang dapat dibayangkan sebagai energi di belakang segala apa yang terjadi. Melalui doa-doa dan upacara, keharusan-keharusan tertentu, melalui perayaan-perayaan, tetapi juga melalui dukun dan sistem perhitungan hari beruntung (petungan) orang Jawa menjamin bahwa kekuatan-kekuatan gaib itu tidak merugikan, melainkan menguntungkannya. Di belakang itu semua dihayati kekuatan Sang Maha kuasa (Magnis-Suseno 1984).

(2) Yang khas bagi penghayatan ketuhanan aseli ini adalah bahwa tidak ada perpisahan antara alam dan Yang Ilahi. Alam sendiri bagi manusia dilihat sebagai numinus atau gaib. Artinya, alam — sawah, pohon, sumur, batu besar, harimau, dst. — tidak pernah dihayati hanya secara “empiris” atau inderawi belaka, melainkan selalu dan dengan sendirinya sebagai penuh makna dan kekuatan adi-duniawi. Ketuhanan di sini dihayati sebagai realitas numinus yang meliputi kehidupan seluruhnya, sebagai dimensi hakiki seluruh realitas. Unsur kehidupan sehari-hari, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sendiri seperti kelahiran, menjadi akil-balik dan kematian, pekerjaan di rumah dan di sawah, gejala-gejala alam, tetapi juga ketenteraman dalam masyarakat dihayati sebagai ungkapan kekuatan gaib alam raya. Tak ada perpisahan antara gejala alami dan makna rohani-religius, tidak perlu dibentangkan jembatan antara pengalaman sehari-hari dan alam rohani-religius. Yang alami dihayati secara religius.

Salah satu implikasi penghayatan ini adalah bahwa ateisme tidak mungkin dan tidak akan dimengerti. Yang Ilahi bukan sesuatu yang dipikirkan, sebuah teori, melainkan dalam realitas inderawi. Karena tak ada keduaan sedikit pun antara realitas inderawi dan alam gaib. Penghayatan religius ini mirip dengan situasi di mana orang yang kita cintai hadir: Kehadirannya akan mewarnai kesibukan sehari-hari kita sehingga kita hayati sebagai ekspresi cinta yang membahagiakan. Begitu ketuhanan dalam penghayatan aseli menjadi suasana menyeluruh kehidupan manusia.

2. Penghayatan Hinduisme

(1) “Hinduisme” adalah yang pertama dari “agama-agama universal”. Artinya, agama-agama ini secara hakiki tidak lagi terikat pada tempat tertentu meskipun bisa saja mendapat wujud konkret dari kepercayaan- kepercayaan di tempat masing-masing. Hinduisme sebenarnya bukan satu agama, melainkan alam penghayatan dengan banyak agama dengan banyak sekali perbedaan, namun dipersatukan oleh semacam kerangka dasar dan sebuah tradisi tertulis. Di sini saya tidak akan menguraikan pokok atau kerangka dasar keagamaan Hindu, melainkan sekadar menunjuk pada kekhasan penghayatan Ketuhanannya.

Kitab-kitab Suci Hindu, kitab-kitab Veda dan Upanishad, membuka jalan ke pemikiran filosofis mendalam di mana akhirnya segala-galanya dipahami sebagai satu. Dat paling mendasar adalah Brahman yang sebagai Atman atau Jiwa meresapi segala-galanya. Ada yang berpendapat bahwa yang sebenarnya ada hanyalah Brahman sebagai realitas satu- satunya, sedangkan segala apa yang kelihatan, seluruh alam inderawi, inderawi, adalah maya, tipuan belaka.

Namun dalam penghayatan lebih umum, Yang Satu mengungkapkan diri dalam Trimurti, dengan tiga wajahnya — yang kemudian juga bisa menjadi tiga dewa — yaitu Brahma, Wisnu, dan Siva. Bagi rakyat biasa, ketuhanan itu terungkap dalam ribuan dewa dan dewi yang sebagian kita kenal dari kisah Ramayana dan Mahabharata. Dengan demikian, seluruh realitas terpenuhi oleh kehadiran dimensi adi-duniawi. Dewa- dewi ini merupakan personifikasi ketuhanan yang satu, yang begitu abstrak. Melalui dewa-dewi, ketuhanan menjadi kehadiran dalam lingkungan hidup nyata. Lingkungan alami kehidupan desa dan kota dihayati sebagai penuh dengan dewa-dewi, roh-roh dan pelbagai kekuatan gaib. Dalam penghayatan ini pun tidak ada alam yang empiris-inderawi saja. Melainkan alam inderawi adalah alam penuh kekuatan gaib yang karena itu terus-menerus ditanggapi masyarakat dengan pelbagai ritus dan cara, sesuai dengan adat masing-masing. Dalam penghayatan ini pun alam adalah religius.

(2) Dalam agama-agama universal Asia Selatan dan Timur, kesatuan antara alam iderawi dan alam gaib yang khas bagi penghayatan keagamaan aseli sudah retak, meskipun belum seluruhnya pecah. Dalam religiositas rakyat, alam pun masih penuh dengan roh-roh dan bersifat gaib. Tetapi, terutama dalam keagamaan para brahmana, sudah dibedakan antara kemajemukan alami yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan prinsip dasar yang hanya satu, Brahman. Kesatuan antara alam pengalaman kita yang berwarna-warni dan dhat paling dasar yang diyakini hanya satu perlu dipikirkan. Misalnya bahwa kemajemukan hanyalah maya, kesan, bahwa Brahman membuka dan memancarkan diri dalam alam semesta sampai ke kehidupan mikro di sekitar kita. Dikatakan bahwa realitas yang banyak, dewa-dewi dan roh-roh, lalu manusia dan alam raya, merupakan emanasi, secara harafiah: aliran, dari dhat satu yang menjadi dasar segala-galanya. Yang Ilahi mengalirkan atau menjabarkan diri menjadi kenyataan yang majemuk. Alam raya, termasuk manusia, merupakan eksteriorisasi dhat Ilahi. Dalam semadi, orang seakan-akan kembali ke asal-usul, meskipun dhat itu sendiri, Brahman, tidak dapat tercapai. Karena segala-galanya adalah emanasi Brahman, maka akhirnya segala-galanya adalah satu, cita-cita tertinggi filsafat segala zaman.

Penghayatan ketuhanan ini juga disebut monisme, pandangan bahwa segala-galanya adalah satu, bahwa hanya ada satu substansi, bahkan kemajemukan merupakan maya, atau harus kembali masuk ke dalam asal-usul. Pluralitas yang kita lihat sebenarnya tidak nyata. – Namun perlu dicatat bahwa dalam lingkungan keagamaan Hindu itu juga ada penghayatan-penghayatan yang tidak lagi monistik, melainkan mendekati keagamaan personal, seperti misalnya agama bhakti di mana cinta kasih kepada Krishna merupakan intinya.

3. Buddhisme

(1) Buddhisme lahir di India dan dari latar belakang penghayatan agama Hindu. Namun Buddhisme secara dialektis betul-betul lain dari Hinduisme. Dalam Buddhisme, dewa-dewi Hinduisme tidak berperan sama sekali. Dan Buddhisme menolak sistem kasta (barangkali itulah sebabnya Buddhisme diusir dari India, tanah kelahirannya). Salah satu perbedaan khas antara Buddhisme dan “Hinduisme” adalah bahwa Buddhisme berdasarkan sebuah ajaran bulat dan lengkap, sedangkan kitab-kitab suci Hinduisme berupa pelbagai ceritera, ajaran, dan mitos. Ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha (560-480 S.M.), pangeran Sidharta Gautama yang menjadi “Buddha” (“Sang Tercerahkan”) karena memperoleh pencerahan. Ajaran Sang Buddha kemudian menyempal dalam pelbagai aliran seperti Buddhisme Mahayana, Buddhisme Teravada, dan Buddhisme Tantri. Penghayatan ketuhanan dalam Buddhisme adalah menarik. Sang Buddha sendiri justru tidak bicara tentang Tuhan dan dalam ajarannya dewa-dewi tidak memainkan peranan. Maka kadang-kadang Buddhisme, terutama dalam bentuk Teravada, disebut ateis.

Namun sebutan itu yang oleh kebanyakan penganut Buddhisme sendiri ditolak kiranya kurang tepat. Pertama tentu, karena kata modern ateis dan ateisme dipakai untuk sikap dasar hidup yang menolak dimensi gaib. Yang ada bagi si ateis modern hanya dunia dangkal yang kelihatan dan perasaan-perasaan kita sehari-hari. Di luarnya, dan sesudah kehidupan ini, tidak ada apa-apa. Tetapi Buddhisme justru membuka makna kehidupan yang tidak tercapai apabila manusia mengikuti nafsu dan perasaan biasa saja. Buddhisme juga percaya bahwa eksistensi manusia melampaui keberadaannya di dunia ini. Jadi Buddhisme tidak ateis. Buddhisme menawarkan pembebasan, pembebasan dari keterikatan pada mekanisme karma yang terungkap dalam keinginan-keinginan dan nafsu-nafsu manusia.

Dan, kedua, apabila Sang Buddha diam tentang Tuhan, itu bukannya karena Ia menolak “ketuhanan” dan dewa-dewi. Melainkan yang ditegaskan oleh-Nya adalah bahwa bukan segala macam teori dan devosilah yang membebaskan manusia, melainkan kalau ia mengambil sikap nyata yang membebaskannya dari roda keterikatan pada nafsu dan keinginan-keinginan tak teratur. Sang Buddha seakan-akan mengatakan: Lakukan! Lakukan apa? Lakukan pelepasan dari segala keinginan, dengan menjadi baik, positif, dengan bertapa seperlunya (tetapi bukan secara berlebihan dan fanatik karena itu justru akan merupakan pamrih baru). Meminjam cara melihat Karen Armstrong, Sang Buddha dalam ajarannya mengandaikan suatu ketuhanan yang lain dari segala benda dan pengada di lingkungan kita. Kalau dewa-dewi Hindu mirip dengan manusia (seperti menjadi sangat jelas dalam wayang Jawa yang memang sudah tidak menghayati lagi keagamaan India), maka Sang Buddha diam terhadap ketuhanan. Dalam sikap diam itu, Buddhisme sebenarnya tidak sendirian. Baik spekulasi Hindu tertinggi, maupun mistik agama-agama Abrahamistik memahami betul bahwa akhirnya manusia berhadapan Tuhan hanya bisa diam saja. jangan sampai kalau kita bicara dengan terlalu enteng tentang Tuhan, kita memahaminya sebagai salah satu pengada di antara para pengada lain, kendati pun yang tertinggi. Maka dari itu, baik filsafat Islam maupun filsafat Kristiani paham bahwa bicara tentang Tuhan harus dengan via negaliva (“jalan negatif”). Artinya, kita sebenarnya hanya dapat mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan tentang Tuhan, daripada mengatakan sesuatu tentang-Nya. Dalam penghayatan rakyat Buddhis, selain ajaran Sang Buddha itu, juga terdapat banyak sekali devosi terhadap Sang Buddha sendiri, terhadap pelbagai Bodhisattwa dan pelbagai dewa dan dewi lokal.

(2) Maka apabila Sang Buddha diam tentang ketuhanan dan mengajar kepada para muridnya untuk memusatkan segala perhatian pada perbuatan, yaitu pelepasan dari segala pamrih, diam itu jangan diartikan sebagai ateisme, melainkan sebagai penghayatan Tuhan menurut via negativa. Menurut Sang Buddha, manusia hendaknya secara rendah hati melakukan apa yang dapat dilakukannya. Sudahlah. Segala spekulasi tentang “Tuhan”, tentang dewa-dewi, hanyalah pamrih saja.

Barangkali kita boleh mengatakan bahwa Yang llahi dihayati sebagai rahasia yang dibiarkan saja dengan bersikap diam berhormat. Manusia hendaknya melakukan apa yang dapat dilakukan, demi pembebasannya dari roda karma. Maka makna hidup bagi umat Buddhis bernada etis.

4. Keagamaan Tionghoa

(1) Di sini bukan tempatnya untuk masuk ke dalam ajaran-ajaran Kongfu-tzu, Lao-tze, dan lain guru-guru yang ajarannya begitu berpengaruh dalam membentuk budaya bangsa-bangsa Tiongkok serta merupakan, bersama dengan Buddhisme, pelbagai kerangka religiositas Tionghoa. Saya membatasi diri pada tiga penghayatan ketuhanan saja yang saling melengkapi dan yang, dengan nada dan arti yang cukup berbeda menurut masing-masing aliran, dapat dianggap khas bagi pola religiositas Tionghoa.

Yang pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselarasan kosmis. Apabila semua unsur di alam raya, alam dan manusia, rakvat dan para pemimpin, berada pada tempatnya masing-masing, masyarakat akan selamat. Masing-masing unsur seperti dalam kehidupan berkeluarga, pekerjaan, juga benda-benda perlu hidup sesuai dan makna nama atau kanji masing-masing agar semuanya selamat. langitlah yang merupakan pancaran dan acuan keselarasan atau harmoni kosmis: Dengan melihat matahari, bulan, dan bintang-bintang beredar dalam keteraturan abadi, manusia tahu apa itu selaras. Ilmu falak membantu manusia untuk mengatur kehidupannya, lebih-lebih kehidupan politik, menurut keselarasan alam semesta itu. Selaras berarti selamat. Maka di sini, ketuhanan dihayati sebagai dasar dan makna segala-galanya sehingga manusia perlu menempatkan diri dalam posisi tepat terhadapnya. Apabila ia mencapai keselarasan — yang selalu bersifat sosial: ya keluarga, ya kerajaan — ia terdukung oleh medan kekuatan adi-duniawi yang mendasari segala-galanya dan terlihat dalam tatanan alam raya.

Unsur kedua dapat kita lihat berkaitan dengan penghayatan keselarasan, yaitu hormat terhadap nenek moyang. Dengan menghormati nenek-moyang, manusia Tionghoa memasukkan diri ke dalam ikatan dengan mereka melalui zaman dan karena itu ke dalam keselarasan keseluruhan.

Unsur ketiga adalah kepercayaan bahwa di belakang segala kejadian di alam raya terdapat dao, “jalan” atau hukum dan sumber segala-galanya. Dao itu tidak tertangkap oleh nalar, melainkan hanya dalam semadi. Setiap orang mempunyai dao-nya. Adalah tugas hidupnya untuk menemukannya. Apabila ia menemukannya, ia mencapai identitas dengan dirinya sendiri dan sekaligus berada dalam konstelasi tepat terhadap kekuatan-kekuatan alam raya. Di sini, ketuhanan dihayati dalam keyakinan bahwa hidup setiap orang dapat menemukan tempatnya di alam raya yang betul, yaitu dengan menemukan dao. Dao menentukan apakah orang itu berhasil menjadi dirinya sendiri. Apabila dao itu ditemukan — ada juga yang mengatakan bahwa dao tidak dapat dicapai, tetapi selalu harus dicari, — ia sungguh-sungguh mantap dalam semua dimensi, apa pun yang terjadi. Jadi di sini pun manusia tidak sekadar berhadapan dengan segala macam masalah dan tantangan setiap hari, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri, melainkan ada suatu acuan yang mantap, sebuah kebenaran “eksistensial”, sebuah orientasi yang memang benar total, dan manusia yang menemukannya — di mana lalu pelbagai guru mengajarkan pelbagai cara untuk menemukan dao itu — adalah sampai pada tujuannya. Suatu kekhasan keempat religiositas Tionghoa adalah penghayatan segala-galanya dalam perspektif )7n dan Yang. Yin adalah prinsip keperempuanan, Yang prinsip kelaki-lakian. Yang mewujudkan sikap aktif, langit, kekuatan; Yin sikap pasif, bumi, kerelaan. Segala apa yang ada terdiri atas dua prinsip itu. Dua prinsip ini bersumber dalam dao.

(2) Keagamaan Tionghoa seakan-akan berjalan di dua dimensi. Dalam dimensi kesadaran sehari-hari — yang tidak dibicarakan di sini — rakyat berdoa dan mohon bantuan sekian banyak dewa dan dewi, roh-roh, tokoh sejarah, nenek-moyang. Tetapi di tingkat kesadaran lebih mendalam kehidupan dihayati berlangsung dalam acuan pada keselarasan alam raya yang, karena itu, selalu harus dipastikan kembali oleh para pemimpin, misalnya dengan mengamati bintang-bintang. Keselarasan itu adalah dao yang harus dicari bagi dirinya sendiri oleh setiap orang, itu pun dalam menemukan tempatnya dalam masyarakat dengan kewajiban-kewajibannya. Penghayatan ini memiliki nada etis yang menonjol.

5. Dualisme

(1) Unsur-unsur dualistik terdapat dalam banyak agama. Di Tionghoa, realitas dihayati sebagai terdiri atas prinsip Yin dan Yang. Menurut agama Mesir kuno, bagian Selatan diwakilkan oleh dewa Seth, bagian Utara oleh dewa Horus. Religiositas Babylon kuno ditentukan oleh dualisme antara langit dan bumi yang sepadan dengan dualisme antara laki-laki dan perempuan, di mana dewa Apsu mewakili langit dan dewi Tiamat mewakili bumi.

Namun dualism, dalam arti yang sebenarnya adalah lebih tajam. Menurut dualisme ini, realitas berdasarkan dua prinsip yang tidak tergantung satu sama lain, yang juga tidak bersama-sama mewujudkan keselarasan (seperti Yin dan Yang), melainkan saling berlawanan. Apa yang terjadi di dunia adalah akibat atau ungkapan konflik antara dua prinsip itu. Dualisme adalah kepercayaan yang bersumber dalam pengalaman tentang polaritas dan konflik. Ada pertentangan antara terang dan gelap, langit dan bumi, keperempuanan dan kelaki-lakian, tubuh dan jiwa, baik dan jahat.

Sebagai kepercayaan eksplisit dualisme jarang muncul. Dualisme “klasik” terwujud adalah agama Persia kuno, agama Zoroaster atau agama Parsi yang sekarang masih ada di India. Dalam agama itu terang dan gelap, jiwa dan badan, serta baik dan buruk, dihubungkan satu sama lain sedemikian rupa hingga ada dua prinsip asali saling berhadapan, penguasa terang, Ahura Mazdah, dan penguasa malam, Ahriman. Dualisme itu dalam abad ke-3 SM masuk ke dunia Barat dalam bentuk Manikeisme yang mencampurkan unsur-unsur agama Zoroaster, agama Kristiani, dan Buddhisme. Kejadian-kejadian di dunia dipahami sebagai perang antara kekuatan terang-rohani dan gelap-jasmani.
36 I M.

(2) Dualisme merupakan kebalikan dari monisme. Monisme menghadapi masalah bagaimana menjelaskan pluralitas. Sebaliknya, dualisme, dengan dua prinsip dasar, dapat menjelaskan kenyataan kemajemukan dalam dunia dengan lebih mudah. Apalagi kemajemukan yang kita alami cenderung terbagi dalam unsur-unsur yang saling berhadapan, ber- tentangan, yang pro dan kontra, baik dan buruk, dan seterusnya. Manusia menghayati diri sebagai medan pertempuran antara dua prinsip itu.

6. Agama-agama Abrahamistik

(1) Di tengah-tengah sebuah masyarakat yang pola penghayatan ketuhanannya sama dengan agama-agama aseli dan agama rakyat di India (dan hampir di seluruh dunia) muncul penghayatan yang sangat khas dan berlainan:’ Suatu tradisi yang meyakini sebuah peristiwa unik sebagai dasarnya: Allah, Yahweh, memanggil nenek-moyang mereka, Abraham. Penghayatan itu baru. Bukan lagi seluruh suasana alami masyarakat sarat dengan unsur-unsur gaib yang lalu dipersonifikasikan dalam dewa-dewi dan roh-roh tertentu. Melainkan Abraham merasa telah dipanggil secara pribadi oleh Tuhan yang namanya Yahweh. Yahweh memilih Abraham dan menyuruhnya pergi ke tempat lain di mana sebetulnya ada dewa- dewi lokal juga. Dan Yahweh itu bertanggungjawab atas Abraham.

Penghayatan yang sama akan dimiliki seluruh bangsa Israel. Bangsa itu merasa diantar secara pribadi, “dengan tangan terentang”, oleh Yahweh ke luar dari negeri Mesir. Yahweh mengadakan perjanjian dengan bangsanya, menyertainya selama 40 tahun dalam pengembaraannya di padang gurun dan akhirnya mengantarnya ke dalam tanah yang dijanjikan kepadanya. Yahweh kemudian memperhatikan, membimbing serta bertanggungjawab atas bangsa itu secara personal.

Yahweh semula belum Allah satu-satunya. Tetapi dewa-dewi lain tidak berarti dibanding dengan-Nya. Yahweh, itulah yang baru, tidak lagi terikat pada tempat tertentu. Ia adalah Tuhan alas bangsa-bangsa dan atas sejarah, Ia mempunyai sebuah rencana keselamatan dan akan melaksanakannya. Ia mengadakan hubungan personal dan dialogis dengan bangsa-Nya. la menjaganya dengan cemburu. Dan sesudah bangsa Israel, atau yang tinggal daripadanya, bangsa Yahudi, kehilangan kenisah di Yerusalem dan tanah fisik yang diberikan kepadanya, bangsa itu mulai menyadari bahwa Yahweh bukan hanya satu-satunya Tuhan Israel, melainkan satu-satunya Allah. Yahweh adalah Allah yang Maha Esa. Bangsa Yahudi menjadi monoteis. Dewa-dewi bukan hanya tidak berkuasa atas mereka, melainkan tidak ada. Tak ada dewa di samping Yahweh. Dari kepercayaan bahwa hanya Yahwehlah Tuhan Israel, umat Yahudi mulai percaya bahwa Allah hanyalah satu, Yahweh. Penghayatan Yang Ilahi sebagai Allah Yang Esa kemudian mendasari dua agama monoteis besar yang menyempal dan rumpun Yahudi, agama Kristiani dan agama Islam.

(2) Dengan Abraham muncul penghayatan ketuhanan baru da-lam umat manusia yang kemudian akan menjadi penghayatan khas tiga agama Abrahamistik: Agama Yahudi, agama Kristiani, dan agama Islam. Ada tiga unsur yang mencolok:

Pertama, unsur personal. Yahweh memanggil seseorang dan memulai sebuah rencana keselamatan. Yahweh mengikat diri secara pribadi untuk menyelesaikan karya penyelamatan itu. Untuk itu, diadakan perjanjian antara Yahweh dan manusia. Yahweh bukan dewa lokal dan meskipun Ia menguasai hujan, angin, dan matahari, dapat membuat air mengalir dan memberikan makanan kepada bangsanya, namun la tidak terkait dengan kekuatan-kekuatan di alam itu, melainkan dengan bebas memakainya. Secara personal, Ia memilih orang dan bangsa tertentu dan berdialog dengannya. Orang bisa secara pribadi berdoa kepadanya, mengeluh kepadanya, bahkan mengajukan kritik kepada-Nya (Ayub).

Kedua, Yahweh adalah satu-satunya Tuhan. Melalui kepercayaan bahwa hanya Yahwehlah Tuhan bangsa Israel, dan dewa-dewi lain tidak perlu, bahkan tidak boleh diperhatikan, bangsa Israel sampai pada pengertian bahwa hanya Yahwehlah Tuhan dan tak ada tang lain. Israel menemukan monoteisme.

Ketiga, Yahweh bertahta di atas langit dan bumi, Ia bukan bagiannya. Ia tidak terurai ke dalam alam raya dan alam bumi, melainkan ia menciptakan langit dan bumi. Yahweh itu transenden, Ia Allah. Ada perbedaan tak terjembatani antara khalik dan makhluk, antara ciptaan dan yang menciptakannya, antara alam raya dan Allah.

Menalar Tuhan Oleh Franz Magnis-Suseno

Foto / Gambar
ruangpelangi.wordpress

SURAT PENANGGUHAN PEMBAYARAN
Meminta penangguhan pembayaran jauh lebih baik daripada terlambat membayar tanpa memberi kabar sebelumnya atau harus memberi kabar setelah diperingatkan....Manfaat Asuransi
Mengikuti program asuransi memberikan manfaat yang luas, baik untuk pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Berikut ini beberapa manfaat mengikuti program asuransi ...Abigael Mitaart
NAMA saya Abigael Mitaart, lahir di Pulau Bacan, Maluku Utara, 30 Maret 1949, dari pasangan Efraim Mitaart dan Yohana Diadon. Latar belakang agama keluarga kami adalah Kristen Protestan. Ketika beraga...Sumiati
Aku lahir tahun 1977 di kota budaya Solo. Ibuku seorang aktivis gereja dan ayahku seorang pegawai sipil golongan rendahan. Kendati keluargaku hidup dalam kesederhanaan, tetapi ketaatan beragamanya cuk...I Gusti Ayu Rai Sundari
Dalam arus gelap ini, aku berkenalan dengan seorang perjaka asal Purworejo. Sucipto, namanya. Dari perjumpaan ini berlanjut pada perbincangan-perbincangan hati yang intensif. Bahkan, dari kepribadiann...
Artikel Yang Berhubungan Download Disini

belajar affiliate marketing di www.rahasiasuksesclickbank.com

» Link to this page:

» Link to Home Page:

0 Responses: PENGHAYATAN KETUHANAN : PANDANGAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.