Pada dasarnya, sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya adalah sejarah aliran, mazhab, atau firqah.’ Sejarah fiqih hisab rukyah (termasuk penetapan awal bulan Qamariah) juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan aliran pemikiran tersebut. Dalam wacana pemikiran Islam, aliran pemikiran itu biasanya disebut mazhab. Kata mazhab biasanya digunakan dalam term fiqih, yaitu suatu cabang ilmu keislaman yang mempelajari tentang hukum-hukum agama atau, meminjam istilah Nurcholis Madjid, disebut bidang jurisprudensi Islam. Jika dilihat secara teliti dalam kamus fiqih, istilah itu sebenarnya terfokus hanya pada istilah empat mazhab yang ada dalam sejarah Islam. Namun berpijak pada pemikiran Islam secara umum, sebagaimana tersebut dalam buku The Concise Encyclopedia of Islam, istilah itu diartikan sebagai sistem berpikir (a system of thought). Dalam buku A Populer Dictionary of Islam, Ian Rechard Newton memberikan tafsiran mazhab sebagai kelompok pemikir atau penulis yang berkecimpung dalam hukum (school of law).’ Maka wajar jika dalam memilah sistem berpikir dalam hisab rukyah secara makro, penulis memakai istilah Mazhab Hisab dan Mazhab Rukyah.
Penetapan bulan Qamariah merupakan salah satu lahan hisab rukyah yang lebih kerap diperdebatkan dibanding dengan lahan-lahan lain seperti penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Menurut Ibrahim Husein, persoalan ini dikatakan sebagai persoalan “klasik” yang senantiasa “aktual”. Klasik, karena persoalan ini semenjak masa-masa awal Islam sudah mendapatkan perhatian dan pemikiran yang cukup mendalam dan serius dari para pakar hukum Islam. Mengingat hal ini berkaitan erat dengan salah satu kewajiban (ibadah), sehingga melahirkan sejumlah pendapat yang bervariasi. Dikatakan aktual karena hampir di setiap tahun terutama menjelang bulan Ramadhan, Syawal, serta Dzulhijjah’, persoalan ini selalu mengundang polemik berkenaan dengan pengaplikasian pendapat-pendapat tersebut, sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat.
Akar dari lahirnya aliran dan mazhab dalam penetapan awal bulan Qamariah adalah perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis hisab rukyah. Di mana menurut penelitian Syihabbudin al-Qalyubi,’ hadis-hadis hisab rukyah tersebut mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, di antaranya:
1. Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas orang yang tidak melihatnya.
2. Melihat di sini melalui mata. Karenanya, ia tidak berlaku atas orang buta (matanya tidak berfungsi).
3. Melihat (rukyah) secara ilmu bernilai mutawatir dan merupakan berita dari orang yang adil.
4. Nash tersebut mengandung juga makna zhan sehingga mencakup ramalan dalam nujum (astronomi).
5. Ada tuntutan puasa secara kontinu jika terhalang pandangan atas hilal manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.
6. Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.
7. Perintah hadis tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin secara menyeluruh. Namun pelaksanaan rukyah tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
8. Hadis ini mengandung makna berbuka puasa.
9. Rukyah itu berlaku terhadap hilal Ramadhan dalam kewajiban berpuasa, tidak untuk ifthar-nya (berbuka).
10.Yang menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung bukan selainnya.
Berawal dari perbedaan itu lahirlah dua mazhab besar. Pertama, Mazhab Rukyah, menurut mazhab ini penentuan awal dan akhir bulan. Ramadhan ditetapkan berdasarkan rukyah atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke 29. Apabila rukyah tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang belum dapat dilihat maupun karena terjadi mendung, maka penetapan awal bulan harus berdasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari). Sehingga menurut mazhab ini term rukyah dalam hadis-hadis hisab rukyah adalah bersifat ta’abudi ghair ma’qul al-ma’na. Artinya tidak dapat dirasionalkan pengertiannya, sehingga tidak dapat diperluas dan tidak dapat dikembangkan. Dengan demikian, rukyah hanya diartikan sebatas melihat dengan mata kepala (mata telanjang-tanpa alat).
Kedua, Mazhab Hisab, penentuan awal dan akhir bulan Qamariah berdasarkan perhitungan falak. Menurut mazhab ini, term rukyah yang ada dalam hadis-hadis hisab rukyah dinilai bersifat ta’aqquli—ma’qul al-ma’na, dapat dirasionalkan, diperluas, dan dikembangkan. Sehingga ia dapat diartikan (antara lain) mengetahui sekalipun bersifat zhanni dugaan kuat—tentang adanya hilal, kendatipun hilal berdasarkan hisab falaki tidak mungkin dapat dilihat.
Berakar dari dua mazhab besar tersebut lahir perbedaan dalam penetapan awal dan akhir bulan Qamariah, dalam hal ini bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Ini dapat dimaklumi, karena—baik Mazhab Hisab dan Mazhab Rukyah—keduanya sama-sama tidak sempurna kebenarannya, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Dalam hal ini kita perlu merenungkan pernyataan mantan Menteri Agama RI, Mukti Ali bahwa baik hisab maupun rukyah menuju sasaran yang sama, yakni hilal (bulan tanggal 1 Qamariah). Kalau memang sasarannya satu—yakni hilal—tetapi terdapat perbedaan, penyebabnya berkisar di antara tiga hal:
a. Mungkin hisabnya yang salah, atau
b. Mungkin rukyahnya yang kurang tepat, atau
c. Mungkin kedua-duanya (hisab dan rukyah) yang tidak betul.
Sehingga jika rukyahnya tepat dan hisabnya betul, pasti akan ditemukan sasarannya secara jelas, yakni Dan ternyata perbedaan hasil penentuan awal dan akhir bulan Qamariah bukan hanya antara Mazhab Hisab dan Mazhab Rukyah. Sesama praktisi yang menggunakan cara rukyah pun mendapatkan hasil yang berbeda-beda,dan lebih banyak lagi basil yang didapat dari perhitungan falak (dalam Mazhab Hisab), karena metode yang dipakai berbeda-beda. Penyebab lainnya adalah dari cara maupun tolak ukur penilaian terhadap keabsahan hasilnya.” Sehingga terjadinya perbedaan secara intern baik dalam Mazhab Hisab maupun dalam Mazhab Rukyah tidak bisa dielakkan.
Perbedaan intern Mazhab Rukyah antara lain disebabkan, pertama, perbedaan mathla.’ Selama ini ada empat pendapat tentang mathla:
1. Keberlakuan rukyah hanya sejauh jarak di mana qasar shalat diizinkan.”
2. Keberlakuan rukyah sejauh 8 derajat bujur,” seperti yang dianut oleh negara Brunei Darussalam.
3. Seperti yang dianut Indonesia yakni mathla` sejauh wilayah hukum (wilayat al-hukmi), sehingga di bagian mana pun dari Sabang sampai Merauke rukyah dilakukan, hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.”
4. Pendapat pengikut imam Hanafi yang membatasi lebih jauh lagi, yakni keberlakuan suatu rukyah dapat diperluas ke seluruh dunia.
Hal kedua, mengenai rukyah bil fi’li dengan menggunakan alat (nazhzharah), para ulama juga berbeda pendapat. Ibnu Hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaan cara pemantulan melalui permukaan kaca atau air (nahwa mir’atin) Al Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau membesarkan seperti teleskop, air, ballur (benda yang berwarna putih seperti kaca) masih dapat dianggap sebagai rukyah.’ Al Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik (nazhzharah) sebagai penolong (dapat) diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata perukyah sendiri.
Sedangkan penyebab terjadinya perbedaan di dalam intern Mazhab Hisab (dalam redaksi lain disebut ruyah hukmiyyah/rukyah teoritik) di antaranya adalah metode hisab yang dipakai. Dalam khazanah ilmu hisab dikenal beberapa metode untuk menentukan (konjungsi) dan posisi hilal dan awal pada akhir Ramadhan. Metode-metode tersebut yakni sebagai berikut:
1. Metode hisab haqiqi taqribi. Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Bek’ dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometry).
2. Metode hisab haqiqi tahqlqi. Metode ini dicangkok dari kitab al-Mathla` al-Said Rushd al-Jadid yang berakar dari sistem astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari sistem hisab astronom-astronom Muslim tempo dulu dan telah dikembangkan oleh astronom-astronom modern (Barat) berdasarkan penelitian baru. Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan, dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem koordinat ekliptika.
Artinya, sistem ini mempergunakan tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada kelompok hisab haqlqi taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
3. Metode hisab haqiqi kontemporer. Metode ini menggunakan basil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab haqiqi tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi. Rumus-rumusnya lebih disederhanakan sehingga untuk menghitungnya dapat digunakan kalkulator atau personal komputer. Di camping perbedaan metode hisab itu, masih banyak lagi perbedaan intern dalam Mazhab Hisab.
Dalam wacana fiqih hisab rukyah di Indonesia juga terdapat fenomena yang menarik, di mana pada dasarnya pemerintah RI cq. Menteri Agama berusaha untuk menyatukan (memfasilitasi) perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan pertimbangan demi tercapainya kemaslahatan umum, keseragaman, dan bersatunya umat. Hal ini sebagaimana didasarkan pada kaidah “Hukm al-hakim ilzam wa yarfa` al-khilaf ” (keputusan Hakim/Pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat). Sehingga apabila Pemerintah telah memutuskan baik atas dasar hisab maupun laporan kesaksian rukyah, maka seluruh komponen masyarakat harus mematuhinya.”
Namun ternyata dalam dataran realitas, masing-masing organisasi kemasyarakatan tersebut mengeluarkan keputusan tersendiri (memberikan ikltbar dalam istilah Nandlatul Ulama). Akibatnya terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena perbedaan dasar acuan yang dipakai oleh Nandlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dua ormas itulah yang sangat mewarnai penetapan awal bulan-bulan tersebut. Mengingat Nandlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan dua ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia. Dalam wacana figih hisab rukyah, Nandlatul Ulama secara institusi disimbolkan sebagai Mazhab Rukyah dan Muhammadiyah secara institusi disimbolkan sebagai Mazhab Hisab.
Nandlatul Ulama melalui Lajnah Bahsul Masail mengeluarkan keputusan bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah atas dasar atau istikmal sebagaimana tersurat dalam Keputusan Munas Ulama,13-16 Rabiul Awal 1404 H/ 18-21 Desember 1983 M di Situbondo, Jawa Timur:
“Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadhan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut Jumhur Salaf bahwa tsubut awal Syawal dan Ramadhan itu hanya bi al-ru’yah au itmam al-’adad tsalasina yauman. Adapun mengamalkan hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh bagi ahli hisab itu sendiri dan orang yang memercayainya.
Dan untuk keseragaman di kalangan warga Nandlatul Ulama di dalam melaksanakan keputusan yang dimaksud termasuk di dalam hal penetapan Idul Adha, maka Munas Alim Ulama pada tgl 23-24 Rabiul Awal 1408 H/15-16 November 1987 di PP Al-Ihya Ulumuddin Kasugihan Cilacap, Jawa Tengah telah mengambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Menegaskan bahwa penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha oleh Qadhi atau Penguasa yang diberlakukan kepada masyarakat (itsbät al-am) dapat dibenarkan jika berdasarkan ru’yah al-hilal atau istikmäl.
b. Nandlatul Ulama telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak membedakan mathla` dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, yakni ruyah al hilal di salah satu tempat di Indonesia yang diterima oleh Pemerintah sebagai dasar penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha berlaku di seluruh wilayah Indonesia walaupun berbeda mathla.
c. Melakukan ru’yah untuk penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha adalah fardhu kifayah menurut mazhahibil arba’ah kecuali Mazhab Hambali yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Pelaksanaan ru’yah yang dilaksanakan Pemerintah sudah cukup sebagai pelaksanaan fardhu kifiiyah bagi seluruh umat Islam Indonesia.
d. Lajnah Falakiyah dan Rukyah PBNU perlu melakukan upaya bagi terlaksananya prinsip ru’yah atau istikmal antara lain dengan cara:
1. Membuat kepastian awal Sya’ban dengan ru’yah al-atau istikmal untuk keperluan awal Ramadhan.
2. Melakukan ru’yah al-hilal pada malam 30 Syawal dan Dzulqa’dah selanjutnya menanyakan hasil ru’yah al hilal tanggal 1 Dzulhijjah pada Pemerintah. Hal ini perlu dilakukan, sebab Pemerintah sering kali tidak mengeluarkan pengumuman penetapan 1 Dzulhijjah secara rinci. Kemudian hasilnya diumumkan segera kepada wilayah dan cabang Nandlatul Ulama di seluruh Indonesia untuk keperluan Idul Adha.
e. Untuk keperluan memulai puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri, dan Idul Adha kepada warga Nandlatul Ulama terutama anggota pimpinan dari tingkat pusat sampai dengan tingkat ranting diinstruksikan agar menyimak pengumuman dan penetapan pemerintah melalui RRI dan TVRI mengenai tiga hal ini. Jika pengumuman dan penetapannya berdasarkan ru’yah al-hilal atau istikmâl maka warga Nandlatul Ulama wajib mengikuti dan menaati. Tetapi jika pengumuman dan penetapannya hanya semata-mata berdasarkan hisab, maka warga Nandlatul Ulama tidak wajib mengikuti dan menaatinya, selanjutnya mengawali puasa Ramadhan, melaksanakan Idul Fitri, dan Idul Adha pada hari berikutnya”.’
Kemudian dalam menanggapi persoalan hisab rukyah yang aktual, Nandlatul Ulama melalui Lajnah Bahsul Masail, selalu berusaha menjawab dengan mengangkat persoalan tersebut dalam forum Bahsul Masail. Sebagaimana pernah terjadi dalam menanggapi permasalahan yang dilontarkan Yayasan Al-Ihtikam dan Lembaga Dakwah Al-Misykah yang menyatakan bahwa awal Ramadhan dan awal Syawal serta Dzulhiljah harus ikut Mekah (rukyah Internasional), Nandlatul Ulama menjawab permasalahan tersebut dalam forum Bahsul Masail sebagai rangkaian acara Muktamar Nandlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, 21-27 November 1999 sebagai berikut:
“Umat Islam Indonesia maupun Pemerintah RI tidak dibenarkan mengikuti ru’yah al-hilal internasional karena berbeda mathla’ dan tidak berada dalam kesatuan hukum”.
Dari beberapa keputusan yang dikeluarkan Nandlatul Ulama melalui Lajnah Bahsul Masail, kiranya dapat disimpulkan bahwa acuan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menurut Nandlatul Ulama pada dasarnya adalah atas dasar ru’yah al-hilal atau istikmäl. Sehingga kiranya itulah faktor adanya simbolisasi Nandlatul Ulama secara institusi sebagai Mazhab Rukyah.
Sedangkan Muhammadiyah dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan melalui Majelis Tarjih. Di mana inti acuan penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah hisab wujud (milad Sehingga menurutnya, ada istilah garis batas wujud al-hilal. Yakni tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan bulan pada saat yang bersamaan, jika tempat-tempat hilal tersebut dihubungkan, maka akan terbentuk sebuah garis. Garis inilah yang kemudian disebut garis batas wujud Wilayah yang berada di sebelah barat garis batas wujud al hilal terbenamnya matahari lebih dahulu daripada terbenamnya bulan. Oleh karena itu, pada saat terbenamnya matahari, bulan berada di atas ufuk. Dengan kata lain, bulan sudah wujud. Sejak terbenamnya matahari tersebut sudah mulai masuk bulan baru.
Sebaliknya, wilayah yang berada di sebelah timur garis batas wujud al-hilal terbenamnya bulan lebih dahulu daripada terbenamnya matahari, oleh karenanya pada saat matahari terbenam, bulan berada di bawah ufuk. Dengan kata lain, bulan belum wujud. Sejak matahari terbenam dan keesokan harinya belum masuk bulan baru melainkan masih termasuk akhir dari bulan yang sedang berlangsung.” Faktor inilah kiranya yang menjadi penyebab adanya simbolisasi bahwa Muhammadiyah secara institusi adalah Mazhab Hisab dalam wacana fiqih hisab rukyah di Indonesia.
Sedangkan hasil keputusan Majlis Tarjih secara tersurat sebagai berikut:
“Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang muktabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyahlah yang muktabar. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Hurairah r.a. riwayat Bukhari dan Muslim.
Mengenai kalimat sudah wujud dalam keputusan Majlis Tarjih, menurut Basith Wachid mengandung pengertian:
1. Sudah terjadi qabl al-ghurub.
2. Posisi bulan sudah positif di atas ufuk.’
Sedangkan tentang keputusan Majlis Tarjih bahwa “rukyahlah yang muktabar,” hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud yakni posisi bulan negatif terhadap ufuk maka ketentuan “rukyah yang muktabar” tidak berlaku.
Kemudian sebagaimana diakui sendiri oleh Basith Wachid bahwa dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, selalu paralel dengan hasil perhitungan Muhammadiyah. Mengingat keputusan Majlis Tarjih selalu dimasukkan sebagai konsideran dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tidak pernah ada persoalan dengan Pemerintah. Walaupun secara realitas, pada penetapan 1 Syawal 1418 H/1998 M secara terang-terangan Muhammadiyah berbeda dengan Pemerintah.”)
Begitu pula Nandlatul Ulama juga pernah berbeda penetapan dengan Pemerintah. Nandlatul Ulama ber Idul Fitri 1415 H pada tanggal 14 Maret 1994 sedangkan penetapan Pemerintah pada tanggal 15 Maret 1994. Nandlatul Ulama menetapkan berdasarkan ruyah sedangkan Pemerintah berdasar hisab. Walaupun antara Nandlatul Ulama dan Pemerintah berbeda, namun Pengurus Nandlatul Ulama menyerukan untuk menghormati kaum Muslimin yang masih berpuasa. Dalam arti warga Nandlatul Ulama tidak melakukan shalat Id secara besar-besaran baik di masjid atau di lapangan, bahkan sebagian juga ada yang melakukan Idul Fitri pada tanggal 15 Maret 1994.4' Pernah juga terjadi perbedaan penetapan antara Nandlatul Ulama dan Pemerintah, yakni penetapan hari raya Idul Adha 1420 H.”
Dari gambaran tersebut tampak bahwa persoalan fiqih hisab rukyah di Indonesia terutama dinamika penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menarik untuk dikaji. Mengingat dinamika penetapan tersebut selalu diwarnai oleh dua mazhab yang berbeda acuan penetapannya yang pada akhirnya sering terjadi perbedaan. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti dan pada akhirnya berupaya menawarkan solusi dalam formulasi penyatuan antara dua mazhab tersebut. Di mana dalam wacana fiqih hisab rukyah di Indonesia, Nandlatul Ulama secara institusi dianggap sebagai simbol Mazhab Rukyah, sedangkan Muhammadiyah secara institusi dianggap sebagai simbol Mazhab Hisab.
Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran tersebut, buku ini berusaha memberikan deskripsi konkret dan solusi tawaran alternatif penyatuan mazhab-mazhab tersebut. Upaya ini dimulai dengan menjawab pertanyaan “sejauh mana kebenaran simbolisasi Nandlatul Ulama secara institusi sebagai Mazhab Rukyah dan Muhammadiyah secara institusi sebagai Mazhab Hisab di Indonesia?” Baru kemudian mencoba menawarkan solusi alternatif sebagai upaya penyatuan dua mazhab tersebut.
Fiqih hisab rukyah Oleh Ahmad Izzuddin
Foto/Gambar
pakarfisika.wordpress
Mungkin, karena alasan inilah sehingga beberapa pakar syariah menganggap kaidah keadaan darurat dalam asuransi sebagai sumber hukum. Keterpaksaan (darurat) tidak mengenal hukum", merupakan prinsip umu...MELETAKKAN YANG HARAM DAN HALAL PADA TEMPATNYA DALAM ASURANSI
Demikian halnya dengan riba (bunga), pada konsep asuransi syariah yang berkembang saat ini dalam operasionalnya menggunakan skim-skim akad yang dibenarkan secara syar'i, seperti mudharabah, wakalah, w...AL-’AQILA
Murtadha Mutahhari, ketika menjelaskan tentang ad-Diyat 'ala al'Aqilah mengatakan bahwa Anda mungkin pernah mendengar ungkapan ad Diyah 'ala al-Aqilah yang merupakan ungkapan yang sangat masyhur. Seba...HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
orang yang sengaja membatalkan puasanya, harus membayar kafarah (kompensasi), yaitu apakah memberi makan kepada 60 orang miskin atau berpuasa selama 60 hari berturut-turut bagi setiap hari puasa yang ...BULAN RAMADHAN : KEUTAMAANNYA
Allah Ta'ala telah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk kepada ummat manusia, sebagai obat penawar kepada kaum Mukminin, penunjuk pada yang lebih lurus, penyuluh ke jalan yang benar, dan p...
Artikel Yang Berhubungan Download Disini